4 tahun di Industrial Light & Magic, US, spesialis sculpture untuk
kostum, topeng, dan bagian tubuh palsu. Resumeku mungkin sangat
membanggakan. Beberapa perusahaan pembuat film kelas kakap Hollywood
bahkan sangat berminat menjadikan aku sebagai advisor atau konsultan,
tapi aku tolak. Ku hendak pulang ke Indonesia.
Aku tak pernah mempermasalahkan duit. Penghasilanku di ILM jauh melebihi
seorang pekerja senior di industri migas. Tabunganku di Amerika sudah
jauh lebih dari cukup untuk hidup secara layak di Indonesia. Tanpa
bekerja. hanya dari bunga tabungan saja. Orang bilang pensiun dini. Aku
bilang awal dari petualangan hidup. Yang sebenarnya.Yang selalu aku
impikan dan bayangkan.
Nama panggilanku adalah Simon, seperti nama SImon Templar di serial The Saint, yang amat jago menyamar.
***
Aku selalu punya keinginan mendalam untuk mengintip. Bukan, bukan hanya
sekedar mengintip celana dalam perempuan sebentar atau sekilas belahan
dada yang terbentuk ketika seorang wanita membungkuk. Lebih dari itu.
Aku ingin mengintip tanpa rasa takut ketahuan. Aku ingin mengintip,
benar-benar mengintip, sampai aku terpuaskan, segala macam yang
tersembunyi dari wanita. Belahan dada tak cukup bagiku. Aku harus
mengintip buah dada, penuh sampai putingnya. Celana dalam tak cukup
bagiku. Aku harus bisa melihat isinya yang rimbun atau tercukur rapi.
Jelas, sebelum aku pulang ke Indonesia, peralatan untuk mencetak topeng
dan kostum sudah kupaketkan, Demikian juga dengan peralatan spy cam
cukup canggih, dan kupastikan belum ada di Indonesia. aku punya rencana
yang sangat brilian.
***
Penyamaran menjadi hobi keduaku sebelum aku pulang ke Indonesia. Aku
selalu mencoba beranekaragam bentuk tubuh dan wajah manusia. Toh, itu
juga yang menjadi pekerjaanku sehari-hari. Kalian mungkin pernah melihat
film Tootsie, ketika Dustin Hoffman menjadi seorang wanita demi
mendapatkan gadis impiannya. Atau Mrs. Doubtfire, ketika Robin Williams
menyamar menjadi ibu-ibu tua untuk mendekati keluarganya. Hehehe, jelas
bukan aku yang mengerjakan kostum untuk film-filem itu, tapi itulah
gambaran pekerjaanku. Karena jenis pekerjaanku itulah, aku bisa
mendapatkan akses ke banyak peralatan dan bahan pembuat kostum-kostum
itu,dengan gratis.
Aku kemudian mencoba untuk membuat kostum dan topeng-topeng itu, dan
kemudian memakainya sendiri. Setelah itu, aku biasa memakainya, dan
membawanya ke tempat-tempat ramai seperti mall, toko swalayan, gereja
(ya,ya, aku memang gila), untuk mengetahui apakah orang bisa tahu apakah
aku sedang menyamar atau tidak. Yupe, orang tidak pernah tahu. Bahkan
suatu ketika aku menyamar menjadi seorang nenek tua (ya, dengan segala
macam keriput di wajah, lengan, dan leher), aku diperlakukan seperti
layaknya nenek-nenek tua, dituntun tangannya, didudukkan di depan,
bahkan dicarikan taksi.
Inilah awal mula rencanaku.
***
Aku tertegun membaca papan nama di sebuah sudut, sangat dekat dengan
rumah yang baru saja aku beli. "Dibutuhkan pembantu wanita untuk kos
putri. Segera. Hub. 081 123xxxx Dwi untuk wawancara".
Ha! Tiba-tiba kurasakan impianku mendekati kenyataan. Surga dunia ada di
depan mata! Impian mengintip bidadari-bidadari dengan samaran seorang
pembantu wanita bisa aku wujudkan.
Aku masturbasi sore itu sambil menyusun rencana.
***
Jadi pembantu mungkin tidak susah, tapi capeknya itu yang tidak
tertahankan. tapi menimbang "upah" yang mungkin bakalan aku dapat,
dengan nekat aku telepon nomer itu. Tentu dengan suara wanita. Ku
menelepon di wartel agar lebih meyakinkan.
"Selamat malam. bisa bicara dengan ibu Dwi?"
"Selamat malam, saya sendiri," manis sekali suaranya. kurasakan tubuhku menegang. Jantungku berdebar keras.
"Nama saya Srini bu. Saya menelepon untuk lowongan pembantu di rumah
ibu. adik ipar saya kemarin lewat depan rumah ibu, dan memberitahu saya
mengenai lowongan itu."
"O ya? Kalau boleh tahu, umurnya berapa ya?"
Deg. aku mau nyamar menjadi umur berapa ya?
"Saya umur 45 tahun, bu ..."
"O, mungkin mbaknya bisa langsung datang ke rumah untuk wawancara ya.
maaf, saya tanya umurnya karena kami nyari orang yang agak tuaan untuk
jaga rumah dan penghuninya gitu. "
Haduh. Selamat aku.
"baik, bu, saya akan datang senin sore untuk wawancara?"
"Maaf, mbak, bisa agak cepetan, sabtu sore, mungkin?" Ha, cuman sehari untuk membuat segala macam kostum dan topeng? Mati aku.
"Baik bu"
***
Aku segera menciptakan skema tubuh wanita Indonesia umur 45 tahun.
Keriput sudah ada dimana-mana, tapi tidak terlalu kentara. Ada lipatan
kecil-kecil di leher. Bagian perut sudah agak membesar. Dada sedikit
kendor. Rambut sudah mulai memutih, tapi tidak banyak. Oke, sudah siap,
tinggal buat cetakan. Sial. aku tak punya banyak waktu. Terpaksa aku
pakai cetakan resin, terutama untuk bagian body. Keras, tapi cepat.
Cetakan karet aku gunakan untuk bagian tubuh yang kelihatan, seperti
muka, leher dan lengan.
***
Sabtu sore aku datang. Kupakai baju orang desa, sebuah gaun long-dress
kembang-kembang, dengan lengan pendek, dan lipatan-lipatan pada bagian
dada. Yup, cukup mewakili penampilan orang desa pada umumnya. Tak lupa
aku membawa KTP palsu atas nama Srini, wong "ndeso" dari Mojokerto, Jawa
Timur. Tak susah membuat KTP palsu indonesia.
Aku masuk ke rumah besar bertingkat dua itu. Mengetok pintu besar dengan
dua daun pintu dan pegangan raksasa. Tiba-tiba sebuah wajah wanita
melongok sedikit membuka pintu besar itu.
"Bu Srini?"
"Iya bu ..."
"Mari masuk. Saya Dwi, yang kemarin terima telepon," sapa wanita itu ramah.
Dwi, sepertinya yang empunya rumah.
"Silakan duduk dulu. Saya ganti baju dulu, tadi baru saja aerobik di belakang," Ujarnya sambil berbalik.
Tidak, tidak usah ganti baju. Aduh, tiba-tiba pikiran ngeresku muncul.
Betapa tidak, si Ibu Dwi ini tipikal ibu-ibu setengah baya yang "bening"
banget. Mungkin umur mendekati kepala 5, tapi bodi masih cukup
mengundang birahi. Dada besar, lengkap dengan belahan karena baju
senamnya yang ketat, bodi gitar, walapun ada tumpukan lemak di sana-sini
(tapi kusuka!), kulit putih terawat, dan ya ampun, bokongnya besar
padat. Terlihat garis celana dalamnya tercetak di balik celana senam
ketatnya. Wajah pun cukup manis. Lebih aduh lagi, si otong mulai
berdiri, membentuk tenda di balik gaun kembang-kembangku. Segera kututup
dengan tas kumal yang aku siapkan.
Ah, ternyata baju gantinya lebih menarik daripada baju senamnya. Baju
longgar model kini, dengan lubang leher yang cukup lebar sampai ke bahu
warna cerah. Tali kutang warna hitamnya mengintip di bahu mulus si ibu
Dwi. Lubang lengannya juga besar, membuat aku pengen ngintip dari
samping. Roknya pendek (bukan mini), kira-kira 5 centian di atas lutut.
Aduh, jangan siksa aku dong bu!
"Jadi, Bi Srini sudah lama kerja jadi pembantu?" kata bu Dwi sambil
duduk, mengambil posisi di sampingku. Aha, ketiak dan sebagian kutangnya
terlihat. Ketiaknya jelas mulus. Kutangnya berenda. Sayang aku tak bisa
melihat volume payudaranya secara jelas.
Bu Dwi mengulangi pertanyaannya. Aduh, maaf, saya suka lupa kalo lagi
asyik ngintip tubuh bagus begini. Percakapan pun lancar kembali. Aku tak
pernah kesulitan dengan mengarang cerita. Kuceritakan bahwa aku adalah
janda yang ditinggal mati suami dengan 4 orang anak di Mojokerto. Datang
ke Jakarta 3 tahun yang lalu untuk bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk
di Jakarta utara. Tidak tahan karena bosnya suka sekali mencaci maki
bawahan, trus nginep di rumah adik ipar sambil jadi buruh nyuci.
"Jadi, rumah adik iparnya deket-deket sini ya bi?" tanya bu Dwi. sambil
bertanya dia mengangkat kakinya. Sekejap kulihat paha putih mulus
mengintip. Kebetulan, ada 2 temanku mantan kameraman ngontrak
deket-deket di situ. Bisa diaturlah kalau suruh berperan jadi adik ipar.
Pembicaraan berakhir soal gaji. Terang aja aku bilang mau digaji berapa
saja, asal bisa bekerja dengan tenang (dan bisa ngintip sepuasnya,
hehehe).
"Bi Srini bisa langsung kerja?"
"Kalau boleh bu, kira-kira bisa tidak ya sabtu minggu depan saya kerja.
Ga enak sama adik ipar saya bu,kalau langsung pergi. Ada utang bikin kue
bantuin istrinya."
Bu Dwi terdiam sebentar berpikir.
"Bi Srini, saya masih perlu lihat kerjaan bu Srini. bisa ngga sebulan dulu disini untuk lihat kerjaanya"
Ah, lega. Sebulan juga sudah cukup untuk memuaskan "hobiku". Berarti ada
kesempatan untuk buat kostum yang nyaman dipakai dan tidak
mencurigakan. Ada waktu 3 hari juga untuk berlatih menjadi pembantu.
***
Aku tak sabar menunggu hari aksiku itu. sebuah koper besar sudah aku siapkan.
Tapi malam itu bukan bu Dwi yang membukakan pintu.
"Bi Srini ya, silakan masuk bi," kata gadis manis yang bongsor bongsor itu.
"Tante Dwi lagi terbang ..."
Aku melongo.
"maksudnya, tante Dwi kan pramugari Garuda. Sekarang lagi tugas.
Biasanya 3-4 harian gitu bi. Oya, kenalin, namaku Erika, ponakan tante
Dwi .."
Manis sekali anak ini. wajahnya sih masih bau kencur, tapi bodinya, ck
ck ck, benar-benar potensial untuk digumuli. Si gadis itu terus nyerocos
menerangkan tugas-tugasku sambil menunjukkan kamar yang akan aku
tempati. Sebuah kamar kecil di dekat dapur belakang, dengan tangga ulir
kecil untuk naik ke tempat jemuran. Rumah besar itu punya tangga utama
yang biasa digunakan anak kos berlalu lalang. Aku sendiri tidak terlalu
mendengarkan omongan gadis itu. Dengan berada di belakang gadis itu, aku
bisa melihat volume bokongnya yang menggiurkan. Gadis itu memakai baju
yang biasa saja sebetulnya, rok dengan kaos yang tidak terlalu ketat,
tapi tetap saja, membayangkan potensinya membuat si otong berdiri.
"Bi, ayo naik ke atas, kukenalkan sama anak-anak kos," tangannya menggandeng tanganku. Aku naik ke lantai 2.
Lantai 2 mempunyai 8 kamar besar. rata-rata berukuran 3x4,5 m, dengan
kamar mandi di dalam. ada dua kamar yang kamar mandinya barengan.
Letaknya dekat tempat jemuran yang bisa diakses dari dapur (dekat
kamarku). Erika menerangkan kalau rata-rata penghuni kos-kosan adalah
wanita bekerja, cuman dua orang yang masih kuliah semester akhir.
Ketika kami sampai di lantai 2, ternyata anak-anak kos sedang kumpul di
ruang tengah yang cukup lebar sambil nonton TV yang ukurannya besar,
mungkin sekitar 40an inci. Dan ketika melihat itu semua, aku hanya bisa
berkata, inilah surganya para pengintip. 8 orang perempuan, bercanda
ria, ketawa-ketiwi, dengan kostum santai (terlalu santai) tanpa curiga
bahwa ada lelaki diantara mereka, AKU!!!
Tina, seorang karyawati bagian customer care di perusahaan GSM terkemuka
di Jakarta, diperkenalkan kepadaku pertamakali oleh Erika. Wajahnya
mengingatkanku pada Happy Salma. Hitam manis, bibir berkumis, dengan
tubuh padat berisi. Malam itu si "Happy Salma" memakai kaus tanktop
warna hitam, dengan tali kecil di bahu, memperlihatkan warna tali
kutangnya yang merah muda. Belahan dadanya yang padat mengintip (bukan
mengintip, tapi memberontak ingin keluar) mengundang birahi (ku, tentu
saja).
"Hallo Bi, aku Tina," salamnya ramah. Aku salaman sambil melihat dadanya tentu saja. Bodohnya aku.
Silva dan Silvia, anak kos yang kemudian dikenalkan dengan aku, adalah
kembar yang masih kuliah. Mereka menempati kamar kos yang kamar mandinya
barengan. Keduanya bertubuh mungil, putih, dengan rambut dikuncir dan
mata bening yang belok. Mataku langsung membelalak melihat "kostum" yang
mereka kenakan. Keduanya memakai gaun tidur yang lebih tepat dikenakan
di dalam kamar, tidak di luar kamar. Gaun tidur satin warna merah
maroon, dengan tali bahu tipis (orang bule biasanya bilang spaghetti
straps), renda terawang di bagian dada, dan mini 10an centi di atas
lutut. Aduuh !
Aku duduk di antara anak-anak kos itu sambil berkenalan (sebenarnya karena dari tadi si otong tidak mau tidur!).
Eva, yang tertua dari semua anak kos, berumur sekitar 30an tahun. Dia
bekerja sebagai marketing executive perusahaan properti yang setiap
sabtu dan minggu tayangannya ada di hampir semua televisi swasta.
Kacamata agak tebal tidak menghilangkan bahwa Eva adalah seorang
perempuan Cina yang seksi. Tinggi badannya layak disandingkan dengan
model-model semacam Caroline Zachrie atau Catherine Wilson. Senyumnya
maut, tapi agak angkuh. Tangannya aduhai halus. Dari posisi dudukku di
depan dia, ku bisa melihat bahwa Eva memakai celana dalam warna hitam.
Roknya tidak mini, tapi cara duduknya yang super nyantai yang
menyebabkan pemandangan itu. Diantara yang lain, kostumnya paling sopan.
Dinia, entah apa kerjanya, tapi itu tidak penting begitu melihat
bodinya. Jelas tidak sekelas dengan teman-teman kosnya yang lain.
Wajahnya tidak menonjol. bodinya agak besar, kalau tidak bisa dibilang
gendut. Lipatan perutnya jelas tercetak di kaos ketatnya. Ah, ini
penyimpangan di surga. tak apalah.
Tere (bukan penyanyi), adalah seorang bartender cewe yang bekerja di
sebuah bar yang cukup besar di daerah Jakarta Selatan. ini hari
liburnya. Biasanya sabtu dia tak pernah ada. Tato gambar kupu-kupu
tercetak jelas di betisnya yang putih mulus. Kakinya sungguh sempurna.
Padat berisi, penampang sedikit bulat, putih mulus. Celana hotpants
super pendek jelas sangat-sangat menarik perhatianku. Sedikit terlihat
bongkahan bokong putihnya ketika dia menggeser duduknya.
Dua orang terakhir yang dikenalkan padaku adalah Vina dan Gege. Gege,
seperti namanya, serba gede, mulai dari bemper depan (astaga!) sampai
bemper belakang (lebih astaga lagi!). Wajah sih biasa, kulitnya juga
hitam. Hanya dia yang pakai daster di ruangan itu. Daster mini dengan
tali bahu yang kecil. Daster ini sebenarnya belahan dadanya tidak
rendah, tapi karena ukuran dadanya yang luar biasa, belahan dada yang
dalam tampak mengintip dengan leluasa.BH dan CDnya matching, warna biru
tua.
Vina, ah rasanya tak perlu kuceritakan. Sama sekali tidak menonjol, baik bodi maupun wajah. Penyimpangan seperti halnya Dinia.
Aku ngobrol sebentar dengan mereka sambil memuaskan mataku mengintip
berbagai bagian tubuh mereka yang terbuka. Sungguh indah dunia ini ...
Aku masturbasi lagi malam itu ...
***
Minggu Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Bukannya rajin, tapi aku
pengen ngeliat pemandangan-pemandangan cewe-cewe yang sedang bangun
tidur dengan pakaian seadanya dan bersiap untuk mandi. Sengaja kupegang
lap pel dan ember untuk alasan bekerja. Dan ngepelnya tentu saja dari
lantai dua, dimana pemandangan lebih indah. Pesan dari Erika, semua
kamar harus dipel seminggu sekali, dan pas ada orangnya, jadi pembantu
tidak dicurigai apabila ada kehilangan. OK deh.
Gila, jam 7 pagi belum ada yang bangun? bolot semua nih cewe ya. Aku mengetuk pintu kamar cewe favoritku, Eva. Semoga saja ...
"Non, bibi, nih, mo ngepel lantai ..." Ketukku perlahan.
...
Tidak ada jawaban.
"Non Eva? Bi Srini, non,"ketukku lebih keras.
"ya bi, sebentar."
Tangan mulus pun membuka pintu. Tampak wajah Eva masih mengantuk.
"Pagi banget sih, bi, nanggung nih ..."
"Maaf Non, abis kerjaan bibi banyak sih, ..." ujarku sambil masuk ke
kamar Eva, tentu saja sambil melirik kostumnya. Wah, biasa saja. Piyama
lengan panjang dengan celana panjang. Garing. Aku bergegas mengepel,
sampai tak sengaja aku melihat BH renda warna merah muda yang tergantung
di gantungan baju di balik pintu. Jangan-jangan ...
Iya, benar, Eva tidak pakai BH. Setelah aku perhatikan dengan seksama,
di balik baju piyamanya sudah tidak ada penghalang apa-apa lagi. Dua
puting susu tampil malu-malu menonjol di balik bajunya. Aduh, aku jadi
ga konsen ...
"Non Eva ada cucian kotor?" tanyaku sambil tetap mengepel dan melihat bodinya yang seksi.
"Ada bi, daleman semua nih, nunggu yang lain aja ya bi."
Ha, Daleman? "Ga usah Non, nyicil aja, biar sayanya juga ga kebanyakan nyuci gitu."
Aku keluar menenteng ember kecil berisi daleman Eva.
***
Beberapa hari ku di sini, salah satu kegiatan paling menyenangkan adalah
mencuci baju. Bukan, aku bukan seorang fetish, walau harus kuakui,
melihat daleman wanita, apalagi yang sudah dipakai, dengan renda-renda
yang menerawang dan warna-warna yang berani, membuat diriku sedikit
terangsang ketika mencucinya.
Aku paling suka mencuci baju-baju Tere dan Eva. Bukannya apa-apa, tapi
baju-baju mereka, terutama dalemannya, sangat-sangat merangsang.
Mayoritas berwarna merangsang seperti off-white, merah, hitam, dengan
hiasan-hiasan renda dan bahan satin yang lembut dan menggoda. Aku suka
berlama-lama di ruang cucian agar dapat menikmati interaksi dengan
dalaman mereka. Berinteraksi maksudnya, beronani dengan menggesekkan
dalaman lembut bekas pakai itu ke otong, dan kemudian memuncratkan
cairan si otong ke dalaman itu sebelum dicuci. Ahh, nikmat!
***
Kejadian Pertama : Memijat "Happy Salma"
Ini bulan pertama aku di sini. Aku semakin mendapatkan kepercayaan dari
Ibu Kos dan tentu saja, anak-anak kos. Aku tak ingin mereka curiga
dengan keberadaanku di sini, dan buat aku, mendapatkan kepercayaan dari
anak-anak kos berarti rejeki nomplok.
Satu hal yang membuatku terbayang-bayang sampai sekarang adalah kejadian memijat salah seorang anak kos.
Sore itu hujan deras sekali. Seperti biasanya, sore merupakan saat
melepas lelah bagiku. Aku nonton TV di ruang tengah lantai 2, karena TV
di kamarku kecil. Ada Vina di sampingku, dia tidak kerja karena lagi
cuti haid.
"Bi, kaki-kakiku pegel semua nih, lagi mens. Mau ngga pijetin saya bi?" tanya Vina.
Aduh, bukannya nolak sih, cuman bodi si Vina ini jauh dari menggiurkan.
Anaknya agak item, badannya se Okky lukman gitu deh, plus giginya ada
kawatnya! Ganggu aja orang nonton TV!
"Iya deh, non," kataku terpaksa. Adegan di TV lagi seru, ada Me vs Mom,
yang maen si montok Sissy Priscilla. Kemudian aku mulai memijat
kaki-kaki Vina. Buset dah, kakinya keker bener, kaya pemain sepakbela,
keras. mana banyak asesorisnya lagi.
"Nah, di situ bi, enak banget tuh," kata Vina. Iya, kamu yang enak, aku yang sesak napas!
sekitar 15 menit, aku menanyakan ke Vina, apakah dia sudah puas. "Masih belum bi, lanjutin bentar lagi ya," ujarnya keenakan.
Tiba-tiba ...
"Eh, Vin, enak bener dipijetin bibi," seru suara cewek yang naik tangga. Oh, si Tina, si "Happy Salma".
"Eh, Non Tina. ga kehujanan Non?" tanyaku ngarep. Betapa ga ngarep, saat
itu Tina memakai kaus ketat warna krem, yang pasti akan memberikan
bayangan yang menarik apabila basah. Yah, semacam Girls Gone Wild
begitu.
"Ga bi, naik taksi tadi," katanya berlalu dari hadapanku.
Aku akhirnya menyerah juga, berhenti memijat Vina dengan kaki besarnya
dan bergegas untuk menyiapkan makan malam. Bu Dwi sebentar lagi mau
pulang.
***
Setelah makan malam bersama, aku beranjak ke tempat tidur. Hari ini
memang luar biasa capek, dan hawa dingin setelah hujan membuatku ngantuk
sekali. Aku sudah hampir tidur ketika kudengar ketokan perlahan di
pintuku.
"Siapa ya?" tanyaku.
"Tina, bi." Eiits, si Happy Salam. Bergegas aku membuka pintu. Upps,
sial, untung aku sempat sadar, wigku belum kupakai, dan aku belum
memakai kostum bi Srini. "Ya, non tunggu sebentar," Buru-buru saja aku
mengambil kain untuk menutupi diriku, sampai bagian dada, kubiarkan tali
kutangku keliatan, agar keliatan baru bangun tidur.
Dan di depan pintuku telah berdisi si Tina dengan segala keindahannya.
Seperti mimpi saja rasanya ada bidadari montok di depan kamarku.
"Mari-mari Non, masuk," aku menyilakan,"maaf, ini, masih pake kain, abis tadi udah mau tidur."
"Ga papa bi," balas Tina sambil didik di dipanku. Malam ini Tina memakai
daster warna merah tua, dengan tali bahu yang kecil. Aku tak melihat
ada tali kutang, jadi sepertinya dia..... NOBRA! dadaku langsung
berdegup keras. sialnya, lampu bohlam kuning di kamarku tidak mendukung
aksi penerawangan itu. lagian, bahan dasternya cukup tebal, sehingga
tidak menyisakan ruang untuk imajinasi liarku.
"Bi, boleh minta tolong dipijitin, ga? aku pegel banget nih abis jaga
stand seharian. Aku bayarin deh bi, mau ya?"[n00bie2009blue fame]
Glek. Hampir saja aku berkata,"Aduh non, kenapa harus bayar, asal bisa liat non telanjang saja udah cukup."
Aku memasang muka tenang, biar ga terlalu keliatan napsu. "Non mau pijat
pake minyak atau pijat biasa aja non? baiknya kalo pegel banget sih
pake minyak telon atawa minyak kayu putih."
"iya, deh bi, terserah bibi aja. Saya baring aja ya bi," kata Tina
sambil memasang posisi telungkup di dipanku. Tangannnya meloloskan kedua
tali bahu daster itu sampai ke lengannya. Dadaku berdegup makin keras
melihat pemandangan erotis di depanku itu. hampir saja botol minyak
telonnya jatuh karena tanganku bergetar ketika menjangkaunya.
Dengan pelahan, tanganku mulai mengolesi bahunya yang mulus dengan
minyak dan memijat perlahan di bagian leher dan tulang selangkanya.
"iyaaah, di situ bi, enaak banget," kita Tina mendesah. Sama, aku juga
enak. Aku terhenti sebentar melihat kedua bongkah susunya melimpah di
samping. Indahnya. Aku meneruskan memijat bahunya, sambil sekali-sekali
menyentil limpahan susu itu. Aku benar-benar terangsang.
Urutanku beralih ke garis punggungnya. "NOn, masih mau pake minyak ga?
kalo masih mau pake, dasternya harus dilolosin," kataku ngarep. "iya
bi," kata dia bangkit sebentar dan kemudian menurunkan daster sampai
batas punggung dengan pantat. Sekilas kulihat dadanya yang penuh
bergoyang ke samping.
"Aduh, Non, maaf ya non, bodi non bagus banget deh. Ngingetin bibi waktu
bibi masih muda dulu ...", Tina cuma ketawa. "Masak sih bi, jadi geer
nih," ujarnya kemudian sambil mengambil posisi telungkup.
Aku meneruskan pijatanku di daerah punggungnya. Saat ini limpahan
susunya membentuk gelembung padat sempurna di samping kiri-kanan
punggungnya, tanpa sehelai benang sedikitpun. Ah, seandainya ...
"Iya non, bibi dulu waktu masih muda kayak Non, sekel, bahenol, kata
orang dulu. Yang ngantri mau kawinin bibi banyak non, sampai pak Kades
segala," asal ku bercerita sambil memijat punggung sempurna coklat sawo
itu. tanganku bergerak ke arah pinggang, mendekati puncak pantat yang
padat itu. Celana dalam hitamnya telihat mengintip di balik dasternya.
Keliatan garis rendanya yang berlubang-lubang kecil. Aku mulai kegerahan
dengan kostumku ini, belum lagi ada desakan di celana dalamku.
"Ah, masak sih, bi, ayo cerita lagi dong bi," kata Tina sambil beringsut
kecil, mungkin dadanya yang super padat agak kepayahan menahan berat
tubuhnya. Aku pun semakin bersemangat cerita, tidak lain agar Tina bisa
lebih relax dan tanganku bisa menjelajah lebih jauh. Kali ini tanganku
sudah memijat pangkal pantat, tepat diatas tali celana dalamnya.
"Maaf non, bokongnya mau dipijat tidak? kata orang-orang jaman dulu, di
bokong itu ada titik-titik refleksi untuk gangguan maag, ginjal dan
hati," kataku ngawur.
"Aduh, malu bi ...."
"Ah, Non, kan sama-sama wanita ...."
"Iya deh, tapi Tina pinjem selimut ya bi untuk nutup bagian atas, dingin nih lama-lama ..."
"Ini non selimutnya. Celananya dan dasternya dicopot dulu ya Non, biar
gampang mijitnya, " kataku sambil langsung menarik daster dan celana
dalam ke arah kakinya. Napsu!
Ketika tubuhnya menggeliat untuk mengambil selimut itulah aku melihat
pemandangan yang benar-benar memukau. Payudara kanannya yang pada dengan
puting warna coklat tua menampakkan dirinya dengan segala keindahannya.
Aku hampir saja ngecrot di tempat! Putingnya mancung ke depan, seperti
puting payudara yang terangsang. Tapi mungkin karena dingin, jadi
mancung begitu.
Celana dalam dan daster sudah ada di tumit kakinya. Ya Tuhan, tak tahan
aku. Aku merasakan penisku tegang luar biasa ketika melihat pemandangan
bukit kenyal itu. Kedua pantat itu benar-benar sempurna, padat dengan
bentuk yang pas, tanpa selulit sama sekali. Buah pantatnya mulus tanpa
jerawat yang biasanya ada di pantat, dan di tepat dibawah kedua buah
sempurna itu, terlihat bukit kecil yang menonjol dengan kedua belahan
vagina yang sedikit tertutup oleh rambut-rambut. Oh, dia mencukur rambut
vaginanya! Segera kututup pemandangan itu dengan selimut agar dia tidak
curiga.
"Non, boleh agak ngangkang kakinya? saya pegel nih non di samping terus.
Lebih enak kan di tengah kaki non, jadi lebih gampang mijitnya,"
padahal maksud aslinya biar lebih pas memandang gundukan bukit kemaluan
yang mempesona itu, dan tentunya pantat padat dan kenyal itu. Perlahan
aku mulai memijat pantat kenyal itu. Tubuh Tina sedikit menggelinjang.
Tanganku mulai meremas dimulai dari titik awal belahan pantat dibagian
pinggang Tina. Tina semakin menggelinjang. "Geli, bi, jangan di
situ,...." lirih katanya.
Aku menurut. Remasanku turun ke bongkahan padat kenyal itu. Aku bersikap
layaknya profesional, seakan-akan menekan titik-titik refleksi di
daerah pantat, padahal aslinya memperlama kontak antara tangan jahilku
dengan pantat indah itu. Benar-benar tak tahan aku ....!
Tanganku naik kembali ke atas punggungnya, mengurut lembur bagian
samping punggung, agar dapat kesempatan untuk menyentil kembali buah
dada padat itu, kali ini lebih lama dari yang seharusnya. Tina
sepertinya ... terkantuk-kantuk.
"Tidur aja non, nanti Bibi bangunin kalo sudah selesai mijitnya," kataku
ngarep. Ucapanku tak ditanggapinya. wah, beneran ngantuk dia.
Kesempatan emas ini. Tanganku mengurut turun kembali ke pantatnya. Kali
ini tanganku meremas pantat besar itu dengan sepenuh hati, dan beranjak
turun ke pangkal pahanya yang membulat sempurna. Aduh mulusnya. Sambil
mengurut, kedua jempol tanganku kuarahkan ke arah belahan kemaluannya.
Urutanku berulang naik turun, dari pangkal paha ke pangkal betis, dan
sebaliknya. Ketika jempol tanganku tak sengaja menyentuh bagian dalam
bukit kemaluan itu, bagian selangkangannya, kurasakan tubuh Tina sedikit
menggelinjang, tapi dia tak berkomentar apa-apa. Maka kuteruskan
langkah berani itu, setiap kali urut, jempolku tak lupa menyentuh
selangkangan dan bukit kemaluannya, makin lama makin ke dalam, dan makin
lama semakin terdengar deru napas. Bukan, bukan hanya deru napasku yang
semakin memburu, tapi deru napas Tina juga. Iya, aku pastikan itu.
Tampaknya dia terangsang ....
tanganku turun ke betis, dan membelai betis mbunting padi itu (istilah
koran kuning!). Dengan satu tangan yang lain, aku menaikkan kain penutup
badanku dan dengan susah payah mengeluarkan penisku yang sudah keras
dari celana dalam sempit itu. Kupelorotkan sedikit celanaku, agar
penisku lebih mudah menghirup udara bebas dan bergerak. Aku membuat
sesedikit mungkin gerakan agar Tina tidak curiga.
Tidak, aku tak hendak memasukkan penis itu kedalam vagina merah merekah
yang menanti. Tak mau aku melakukan satu tindakan konyol yang nikmat
tapi bakalan merusak kesempatan untuk melakukan seperti ini lagi dengan
anak kos yang lain.
Jemariku sekarang lebih berani meremas dan menjangkau daerah erotisnya.
Berkali-kali jariku menggoda, menggesek selangkangan dan belahan
vaginanya, dan berkali-kali pula aku mendengar Tina menghela nafas. Kamu
menikmati juga to ternyata.
"Non, Non, maaf, Non, pijitnya sudah selesai. Mau dilanjutkan pijit
bagian depan atau mau diselesain sekarang Non?" tanyaku biar kelihatan
sopan. Maunya sih ...
"Boleh bi, pijit bagian depan, tapi aku sambil tidur ya bi, abis enak
banget mijitnya," sahutnya terlalu cepat. Nah, aku benar-benar yakin
kalau dia pun menikmati rangsangan yang aku berikan.
Aku beranjak dari dipan dan menarik selimut melindungi tubuhnya. Padahal
sebenarnya untuk menutupi penisku yang menjulang dari kain. Tina
berbalik, agak malu dia menutupi tubuh telanjangnya dengan kedua
tangannya. AKu segera menutupi tubuh bagian atasnya dengan selimut agar
dia tak malu.
"Rilek saja Non, pokoknya kalo sudah dipjetin bibi pasti langsung enak
deh, kalo perlu ditutupi saja Non matanya pake handuk, biar ga malu
gitu," kataku menenangkan. Aku memberikan handuk kecil yang aku ambil
dari lemari.
Setelah matanya ditutup, aku terpaksa harus berhenti sebentar, kalo
tidak bisa bobol pertahananku. Cairan sperma sudah menggelegak di ujung
penis, ingin segera dimuntahkan. Selimut menutupi bagian dada sampai
lutut Tina, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuh yang
menggiurkan itu. Kedua puting yang tampaknya semakin mancung itu
menonjol dengan angkuhnya dari balik selimut. Benar, dadanya memang
masih tegak menantang. Aku duduk kemudian di sampingnya, dan mulai
memijat pahanya, mulai dari pangkal paha sampai tumit kakinya.
Urutan-urutan menjurus kembali kulancarka, kali ini sampai memastikan
bahwa ujung jempolku menyentuh labia mayoranya.
"Bi, kok sampai ke situ, sih ...," bisiknya lirih sambil menggelinjang geli.
"Non, ini namanya pijat asmarandana. Gunanya untuk memulihkan tubuh yang
cuapek banget. Memang harus ke titik vital wanita, non, biar nanti bisa
rilek," kataku ngawur sambil menatap belahan vaginanya yang sekarang
terpampang jelas di depanku.
"Dulu bibi pernah diajari teknik mijit ini dari Mbah buyut bibi, namanya mbak Iro. Ndak semua orang bisa, lho, non."
"ya sudah deh, terserah bibi aja. Asal jangan cerita-cerita ke orang ya
bi kalo saya pernah dipijat seperti ini," kata Tina sambil tersenyum
malu.
Aku melanjutkan pijitanku. Kali ini, kuurut lembut perutnya yang
langsing tanpa tanda lipatan lemak. Dengan begitu, otomatis selimutnya
semakin naik terdorong tanganku. Tubuh telanjangnya terbuka pelan,
menampakkan keindahan yang tiada duanya. Benar, Tina mencukur bulu
vaginanya, menyisakan sedikit rambut di bagian tengah.
Tanganku sampai pada pangkal bawah buah dadanya. Kurasakan dadanya
berdetak cepat sekali. Nafasnya keliatan memburu. Kuraba pelan bagian
bawah payudara kenyalnya, dan kemudian dengan gerakan melingkar kuurut
dada kenyal itu, tapi masih menghindari putingnya, agar dia penasaran.
kuulang gerakan itu, pelan, tapi pasti. Tiba-tiba Tina membusungkan
dadanya. Ah, dia terangsang, aku tambah semangat. Kuubah urutanku, kali
ini tanganku tidak mengurut, tapi meremas kedua payudara montok itu,
tapi tetap kuhindari putingnya. Tina menggeliat, tetap sambil
membusungkan dadanya. Akhirnya kusentuh lembut puting yang sudah sangat
keras itu, tak tahan juga aku. Tina melenguh. Kupilin lembut kedua
puting susu warna coklat tua itu. Tina kembali melenguh kali ini lebih
keras.
Tanpa ada perlawanan berarti, aku meneruskan kenakalanku. Kali tangan
kiriku kembali menyusuri perut mulus Tina, terus turun sampai bukit
kemaluannya. Dengan tangan kanan tetap memilin puting susunya, tangan
kiriku menyusup masuk ke dalam vaginanya. Ya Tuhan, lembab sekali! Bau
vagina yang khas mulai menyusup hidungku. Tubuh Tina menggeliat-geliat
menikmati sensasi erotis ini. Aku? sudah tak tertahankan rasa penis
tegang tak terkira ini. Jari kiriku mulai aktif, menyentuh dan memijat
klitoris kecil di ujung labia. Tina semakin kencang melenguh, dengusan
nafasnya semakin kentara. Aku menggosok klitoris yang semakin lama
semakin mengencang kurasakan. Jariku masih semakin dalam dan memilin
semakin keras. Tina melenguh dan melenguh, sampai akhirnya .....
Tubuhnya mengejan. Otot kakinya mengencang. Kurasakan dinding vaginanya
berkedut. Teratur. Dia Orgasme. Tanganku kubiarkan berada dalam
vaginanya. Sampai kedutan itu berhenti.
"Enak ga Non?" senyumku penuh kemenangan. Kupandang dadanya yang
memerah. "Aduh bi, Tina malu ....," dia menutup wajahnya dengan kedua
tangan.
"Sudah malam, Non, sebaiknya Non naik ke atas," kataku. Padahal aku pengen segera onani.
Dia kemudian segera memakai bajunya, dan menyerahkan duit 25.000 kepadaku.
Yang pasti itu bukan kali pertama aku memijat anak-anak kos.
Kejadian kedua : Cerita Horor bersama Silva dan Silvia
Hujan malam itu luar biasa. Petir menggelegar berkali-kali. Anak-anak
kos pada diam di kamar kos masing-masing, kecuali Silva dan Silvia,
mereka asik nonton TV di ruang tengah. Katanya bosen di kamar, belajar
terus. Aku, seperti biasanya, menonton TV mengusir kebosanan, sambil
mencari cara untuk tetap dekat dengan bidadari-bidadari seksi ini.
Ah, anak-anak sekarang, begitu menggiurkannya, begitu panasnya, begitu
cueknya ....Silva duduk di sofa dengan mengangkat kedua kakinya ke atas,
dan memeluknya. Sebenarnya sih posisi itu biasa, yang tidak biasa
adalah Silva memakai celana jeans hotpants yang cuma pas menutupi bokong
putihnya. Aku, seperti layaknya pembantu, selalu duduk di lantai,
walaupun anak-anak kos selalu mengatakan bahwa sebaiknya aku duduk di
sofa. Tapi aku punya alasan sendiri. Seperti sekarang ini ...
Dari bawah, kulihat bokong putih Silva mengintip dengan indahnya.
Bahkan, hotpants itu tak kuasa menutupi sedikit bagian celana dalamnya
yang berwarna ungu. Ya, ungu, kupastikan itu. Kurasakan penisku mulai
bangkit.
Petir menggelegar keras. Silvia, yang dari tadi tekun menonton sinetron menjerit kecil.
"Bi, takutttt ...," katanya sambil berjalan mendekati tempatku duduk.
Silvia malam itu memakai piyama kembang-kembang warna merah.
membosankan. Piyama dengan celana dan lengan panjang jelas-jelas
membosankan. Tidak ada pemandangan menarik.
"Bi, duduk di atas dong, takutttt ..," kata Silvia menarikku ke atas.
Aku terpaksa meninggalkan pemandangan bokong putih Silva. Lengan kiriku
dipeluknya erat. Hmmm, nikmatnya. Aku merasakan bongkahan kenyal dada
kanannya menekan lenganku hangat. Ya, kenyal dan sedikit keras. Silvia
tidak memakai BH? Ya, Tuhan. Anak-anak kos di sini memang punya
kebiasaan yang membuatku tergila-gila. jarang memakai BH kalau
malam-malam. Rasanya aku bisa betah tinggal di kos-kosan ini selamanya.
"Non, ga usah takut, kan ada bibi, lagian cuman petir doang," kataku menenangkan.
Blakkkkkkkkkkkk !!
Tiba-tiba jendela yang di belakang sofa terbuka lebar. Angin berhembus
dengan kencang disertai dengan pecahan air hujan. Silva dan Silvia
menjerit hampir bersamaan. Mereka berdua sekarang memeluk aku. Silva di
sebelah kananku. Oh, indahnya dunia!
"Aduh, non pada penakut semua, ya, kan cuman jendela," kataku sambil beranjak menutup jendela.
Gege, yang kamarnya paling dekat dengan jendela ruang tengah itu, keluar.
"Ada apaan sih?" teriak dia. Dia menggeliat, mengangkat tangannya ke
atas. Ah, bangun dia ternyata. Dadanya yang super besar berguncang
sebentar. Seperti biasa, dia memakai daster yang tidak bisa
menyembunyikan belahan dada supernya.
"Ini, serem banget, jendelanya buka sendiri," kata Silvia.
Aku kembali duduk di sofa diikutin kedua anak kembar seksi itu.
"Dulu ya non, waktu Bibi masih di desa, kejadian aneh begini sering
banget terjadi non," kataku mulai menakut-nakuti mereka. Tak lain supaya
mereka kembali merapat ke tubuhku.
"Bibi dulu tinggal di lereng gunung di pinggiran Mojokerto. Non-non pada
tau ga, cerita mak Lampir yang dulu pernah ditayangin di TV? nah, itu
sebenarnya cerita nyata loh non, di desa bibi," kedua kembar merapat ke
tubuhku.
"bi, jangan cerita begituan ah, takut," Silvia merengek.
"Ga papa ding bi, ayo terusin ceritanya," kata Silva. Tapi penakut juga
dia, wong sekarang tangannya erat merangkul lenganku. Aku merasakan bau
harum rambut kedua kembar itu.
Aku kemudian meneruskan cerita hororku. Bahkan sesekali Silva menimpali
dengan cerita horornya sendiri, seperti pada saat waktu dia sekolah SMA,
dimana SMAnya bekas kuburan dan beberapa kali murid melihat penampakan
di laboratorium kimia, siang hari bolong pula. Ah, susahnya konsentrasi
mendengarkan cerita horor ini, karena cerita horor ini sudah menjadi
cerita seru, dengan benda lunak kenyal yang berkali-kali menggesek
lenganku. Kurasakan ujungnya mulai mengeras karena gesekan lembut itu.
Aku sangat terangsang.
Pura-pura tak sengaja, kuletakkan tanganku di atas paha mulus SIlva,
seperti layaknya seorang perempuan yang ngobrol dengan perempuan lain,
sambil terus bercerita. Silva cuek saja. Aduh mulus banget pahanya.
Kadang tanganku menepuk pelan, kadang meremas, semuanya sambil bercerita
heboh sehingga Silva tidak curiga.
Petir kemudian menggelegar lagi. Kali ini begitu kerasnya sampai aku sendiri melonjak.
Hening sebentar. TV sudah mati sedari tadi. Takut rusak.
"Bi, Silva jadi takut tidur sendiri nih..."
"Iya, Bi, Via juga takut nih ..."
"Aduh, Non, kan udah pada gede, masa masih penakut sih," kataku berimajinasi liar.
"Bi, mau ga temenin kita tidur? Hari ini ajah ya bi. Kan Spring bednya gede nih, bisa buat bertiga ...," kata Silva.
Mereka merengek, aku pura-pura tidak mau. Padahal ....
"Aduh non, kalau ketahuan Ibu kan bahaya, masak pembantu tidur di kamar anak kos," kataku pura-pura.
"Ah, bi, gapapa. ntar kita deh bilang ke Ibu kalo bibi ditanyain.
lagipula, kan kita sama-sama perempuan, masak ga boleh sih? Ayolah bi
...," kata Silvia manja.
"Iya deh non." Mereka berdua menarik lenganku. Aku masih pura-pura ga mau.
kami bertiga masuk ke kamar Silva. Spring bed Silva memang lebih gede
dibanding yang lain. ukurannya King! jadi kamar yang cuman 3 x 4,5 m itu
terasa lebih sempit. Aduh, kamarnya berantakan banget! tapi buat pria
fetish (seperti AKU!), kamar itu benar-benar surga. BH, celana dalam,
celana pendek, rok mini bertebaran dimana-mana.
"SIlva, berantakan amat sih kamar lo? Buset dah, rapiin gih, kan mo buat
tidur," kata Silvia. Aku membantu Silva membereskan tempat tidur itu.
Ah, pemandangan indah lagi ketika aku mendapati dua gunung kembar Silva
mengintip dari balik kaosnya yang agak longgar. Silva masih pake bra,
sepertinya berenda berwarna putih.
"Saya kunci pintunya ya non," kataku. Ooh, membayangkan kemungkinan aku
akan "tidur" bersama bidadari-bidadari seksi ini membuatku terangsang
setengah mati .... Beberapa rencana sudah terpeta jelas di otak kotorku.
Yang jelas, penis ini tak akan tidur semaleman.
Silvia mematikan lampu terang, dan menyalakan lampu bohlam 5 watt
disamping tempat tidur. Keadaan menjadi remang-remang, walaupun aku
masih dapat melihat dengan cukup jelas kedua tubuh seksi itu. Silvia
langsung Yang tak diduga adalah .....
Silva tiba-tiba membuka kaosnya tanpa malu-malu, menunjukkan lekuk tubuh
sempurna seorang perempuan. tubuh langsing tanpa cela, putih mulus
tanpa ada lekuk lemak sedikitpun di bagian pinggang. BH renda warna
putih itu melekat pas dengan bentuk susunya yang tak terlalu besar.
Jantungku berdegup kencang ketika Silva meraih ikatan BH di punggung.
Dalam waktu cepat, BH itu pun lepas, meninggalkan sepasang buah dada
putih yang menjulang sempurna, dengan areola dan puting yang agak
mendongak ke atas. Putingnya merah jambu.
"Sini bi, tidur dekat aku," Silvia membuyarkan segala imajinasiku. Aduh, ketahuan deh aku melototin tubuh indah itu.
"Eh, enak aja. Aku di tengah!" teriak Silva.
"Non, gimana kalo bibi yang di tengah, biar adil, kan yang penting bibi nemenin non-non tidur sampai pagi," kataku ngarep.
Mereka berpandang-pandangan.
"iya deh bi, tapi janji ya, bibi nemenin sampai pagi ya," kata Silvia
memohon. Oh, tentu saja cantik, aku tak segoblok itu menyia-nyiakan
kesempatan emas ini.
Brrrr. Hawa dingin AC menusuk tulangku. bisa-bisanya mereka menyalakan
AC padahal di luar hujan deras. "Bibi masuk aja ke selimut ini, gede kok
buat bertiga," kata Silva. Aduh, baek sekali si cantik ini!
Aku pun masuk ke dalam selimut itu dan mulai berpura-pura tidur.
***
Braakkkk !!
Suara keras itu membangunkan kami bertiga.
"Bi, suara apa itu?" Silvia langsung memelukku takut. Silva juga
langsung memelukku, karena posisiku saat itu terlentang. rasa kenyal
dari dua pasang buah dada mahasiswi membuat aku terangsang amat sangat.
Penisku langsung keras tak terkira, dan rasanya sungguh sakit.
"Tenang non, Bibi udah doain kita tadi biar dipagerin sama malaikat-malaikat sampai pagi," kataku menenangkan mereka berdua.
Mereka kembali tidur dengan tetap memelukku. Sial, bisa ketahuan nih
jantungku berdegup kencang. AKu berbalik ke arah Silva dan menaruh
tanganku ke paha mulusnya.
Suara jam weker berdetak menambah sunyinya malam itu. Hujan sudah
berhenti sejak tadi. Sudah dinihari tampaknya. ACnya semakin menggigit.
Rasa horniku dari tadi tak hilang-hilang. Tampaknya mereka berdua tidur
lelap. Inilah saat yang tepat untuk beraksi. Posisi tubuhku masih
menghadap Silva, sedangkan Silva sendiri sudah telentang.
Tanganku membelai lembut paha Silva, pelan-pelan untuk mengetes apakah
dia tidur. Tidak ada respon. Asikkk! Kuraba lagi pahanya, kali dengan
sedikit meremas. Tidak ada respon. Semakin berani lagi, sekarang
tanganku mulai mengelus pahanya, menikmati betapa mulus dan kencangnya
paha Silva. Tanganku naik turun menyusuri lembah pahanya.
Tunggu sebentar. Aku perlu melakukan sesuatu dulu. Kuangkat pinggangku
tinggi-tinggi sambil menaikkan rokku (ingat kan, kalo aku menyamar
sebagai ibu-ibu), dan meloloskan pelan-pelan celana dalamku. Ah, lega
rasanya, bebas dari kungkungan. Penisku langsung tegak menjulang tanpa
rintangan. Celana dalam kusembunyikan di balik BH yang kupakai.
Kulanjutkan acara meremas paha mulus itu. Posisi tubuh Silva yang
telentang benar-benar menguntungkanku, karena dengan begitu aku bisa
dengan bebas meremas, mengelus, membelai kedua paha mulus miliknya.
Tanganku kini naik ke arah hotpantsnya. Aku meraba gundukan yang
tertutup hotpants itu, dan penisku terasa tegang luar biasa. Jariku yang
sudah tak sabar mulai mengulik daerah selangkangan Silva. Detak aliran
darahku bahkan sudah berdentum-dentum terdengar di telingaku.
Ada celah yang cukup lebar untuk jari di antara lubang celana dengan
pahanya. Seumpama Silva mengangkang dan tak memakai celana dalam
ungunya, pasti terlihat harta karunnya yang paling berharga itu. Jariku
membelai selangkangannya dan pelan dan hati-hati menyusup ke dalam
celana dalamnya. Karena posisi kakinya rapat, aku tak bisa lebih dalam
lagi mengulik lubang vaginanya. Tapi cukuplah aku bisa membayangkan saja
sambil mengelus gundukan vaginanya itu. Aku dapat merasakan bahwa
rambut vagina Silva lebat, sangat lebat malah. Gila, begitu susahnya!
Aku menarik tangan kananku dan membawanya ke depan hidungku. Hmmm,
baunya benar-benar merangsang. Luar biasa memang bau vagina wanita
cantik seksi seperti Silva ini!
Tiba-tiba aku mendengar perubahan posisi Silvia. Sial! Bisa ketahuan
nih. Aku langsung menghentikan aksiku, pura-pura mengeloni Silva.
Rupanya Silvia hanya berubah posisi saja. Lega! Aku menengok ke
belakang, dan melihat posisi Silvia sekarang miring menghadap ke arahku.
Kebetulan yang sangat menyenangkan ,....
Ahh, saatnya beraksi dengan si kembar berikutnya! Sebagai informasi,
piyama Silvia adalah piyama berkancing dari atas ke bawah, sehingga aku
bisa mendapatkan akses mudah untuk mengecap keindahan dada anak muda
ini. Tanpa berlama-lama lagi, pelan-pelan sekali kulepas kancing-kancing
mulai dari kancing kedua sampai [n00bie20 09bluefame]kancing keempat,
sehingga nanti kalau ketahuan, paling tidak dia tidak langsung curiga.
Agak susah karena posisi tubuh Silvia miring dan sebagian lengannya
menutupi kedua dadanya. Tapi, apa sih yang susah buat orang dengan
pikiran kotor sepertiku?
Jika ada kamera yang menyorot tindakanku saat ini, sudah pasti wajahku
sudah terlihat super mesum, super mupeng, dan super horni. Persis
seperti kakek kura-kura di cerita kartun Sun Go Kong. Mungkin juga
sebentar lagi aku mimisan karena terlalu horni. Hmmm, Tepat dihadapanku
adalah dua payudara dengan ukuran yang pas, tidak terlalu besar dan
tidak terlalu kecil, putih mulus, dan berbulu halus (ini sih tidak
terlihat, tapi kalau dibelai baru terasa). Jantungku berdebar keras
ketika kusentuh lembut kedua daging kembar itu. Walaupun posisi tubuh
Silvia miring, kedua payudaranya tidak turun mengikuti gravitasi.
Keduanya hanya membentuk satu garis tipis belahan dada yang tidak dalam,
itupun karena tergencet lengannya.
Dengan deg-degan karena takut ketahuan, kuangkat tangannya pelan sekali,
dan kutaruh di di bahuku, jadi seakan-akan dia mengeloni aku. Jadinya
aku bisa dengan leluasa bermain-main dengan dada indah itu. Aku membelai
dadanya, kali ini sedikit meremas. Benar-benar padat!Nikmat sekali,
ketika kuteruskan acara remas-meremas ini, bergantian meremas dada kiri
dan dada kanannya. Dalam remang-remang (apalagi di dalam selimut), tak
kulihat jelas warna puting susunya. Perkiraanku sih sama dengan Silva,
merah jambu. yang unik, areolanya tidak lebar, malah cenderung sempit,
tapi ikut menonjol bersama putingnya. Aduh, tidak tahan! Pelahan
kepalaku masuk ke dalam selimut, mencari-cari sasaran dan cuppp! aku
mengecup lembut dada kenyalnya. Kuciumi dadanya seperti anak kecil
menetek ibunya. Kukulum puting dada dan areolanya. kusesap rasanya dan
kuhayati detik-detik erotis ini. Setelah yang kiri, gantian yang kanan,
walapun agak sulit karena kegencet berat tubuhnya.
Penisku yang tegang alang kepalang kugesek-gesekkan ke paha Silvia. Tak
ketinggalan pula, kuciumi ketiaknya yang tercukur rapi. Hmm, harum
sekali baunya. Akhirnya tak tahan juga aku pengen ngelepasin sperma yang
sudah ada di topi baja penisku. Aku berbalik menghadap Silva yang masih
telentang sedari tadi dan mulai memeluk tubuh sintalnya. Penisku
kutempelkan ke paha mulusnya. Sensasinya benar-benar luar biasa.
Kugesekkan penisku, makin lama makin cepat, tanganku pun meremas dada
Silva yang tertutup kaos.
Ahhh, kutumpahkan cairan lengket itu ke paha mulus Silva. Benar-benar
nikmat rasanya. Tetes demi tetes cairan sperma itu mengalir di paha
Silva, turun membasahi sprei. Aku terhenti sesaat menikmati momen
tersebut, tentu saja dengan tangan tetap meremasi dada kenyal Silva.
Ah, benar-benar memuaskan, walaupun besok paginya aku sakit demam dan sakit kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar